Muhammad Abduh Dan Konsep-Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Serta Pengaruhnya Di Indonesia

  • Bagikan
Muhammmad Abduh
Muhammmad Abduh

KLIKINFO.ID – Puncak peradaban Islam terjadi di masa kepemimpinan Daulah Abbasiyyah. Namun setelah penyerangan yang dilakukan oleh tentara Mongol ke Baghdad, peradaban Islam mengalami kemunduran secara perlahan hingga akhirnya saat memasuki Abad XVIII M.

Umat Islam di dunia pada masa itu mengalami nasib yang buruk setelah terjajah oleh Bangsa Eropa, dan negara-negara yang menjadi wilayah kekuasaan Islam menjadi terjajah. Keadaan umat Islam yang tertindas oleh bangsa Barat diperparah dengan kondisi eksploitasi kekayaan internal sehingga membuat hampir seluruh aspek kehidupan menjadi lemah (Komaruzaman, 2017).

Rahasia keunggulan bangsa-bangsa Barat mendorong para pemimpin, politisi dan ilmuwan untuk mengirimkan para pelajar ke Eropa agar dapat mengetahui keunggulan mereka sehingga dapat menerjemahkan konsep tersebut ke dalam dunia Islam. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil yang baik karena adopsi pemikiran Barat diadopsi total tanpa adanya seleksi dan koreksi, bahkan membuat umat Islam semakin terpuruk.

Terdapat faktor internal lain yang mempengaruhi kemunduran umat Islam ini, yaitu yang pertama adalah adanya erosi nilai Islam dan ketidakpedulian pemerintah dalam penerapan aturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua yaitu sikap diam dan kerja sama lembaga ulama dengan pemerintah tidak Islami.

Selanjutnya yang ketiga adalah permasalahan korupsi dan dzolim para penguasa beserta keluarganya. Kemudian yang terakhir adalah kerjasama penguasa dan ketergantungan mereka terhadap kekuatan imperialis yang tidak Islami (Rahnema dalam Komaruzaman, 2007).

Kenyataan di atas mendorong para tokoh pembaharuan untuk melakukan reformasi dan berjuang untuk mendapatkan kembali kejayaan umat Islam. Salah satu dari tokoh tersebut adalah Muhammad Abduh, yang berpengaruh pada dunia Timur dan Barat. Muhammad Abduh adalah seseorang yang baik diteladani oleh umat Islam karena mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang sebelumnya bersikap statis menjadi dinamis (Suharto, 2006).

Pemikirannya tentang pendidikan dinilai sebagai awal kebangkitan umat Islam di awal abad ke XX M, yang disebarluaskan melalui tulisan-tulisannya di majalah al Manar dan al-Urwatul al-Wutsqo hingga kemudian menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, sehingga di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah atau madrasah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad Abduh (Jalaludin & Said, 2003).

Dikenal sebagai seorang tokoh salaf, tetapi Muhammad Abduh tidak pernah menghambakan diri pada teks-teks agama. Dia berpegang kepada teks agama tapi juga menghargai akal dan terkenal sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern yaitu kembali kepada kemurnian Islam (Pohan, 2019).

Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di suatu desa yang berada di bagian Mesir Hilir diperkirakan pada tahun 1849 M atau 1265 H. Lahir di tengah keluarga taat beragama, ayahnya adalah seorang petani asal Turki, Abduh Hasan Khaerullah dan ibunya adalah Junainah, keturunan bangsa Arab yang masih memiliki silsilah hingga ke Umar bin Khatab (Komaruzaman, 2017).

Pertama kali Abduh memperoleh pendidikan berupa membaca dan menulis adalah dari yang diselenggarakan di Masjid. Setelah pandai, ayahnya mengirimnya pada seorang Hafizh untuk belajar Al-Qur’an dan di usia 12 tahun ia telah mampu mengahafal Al-Qur’an secara keseluruhan.

Tahun berikutnya, Abduh melanjutkan pendidikan ke Thanta yaitu sebuah lembaga pendidikan di Masjid Manawi. Tidak puas dengan metode pengajarannya, Muhammad Abduh kemudian kembali ke daerah asalnya.

Baca Juga :  Menyingkap Kepribadian Melalui Karakter Berdasarkan Zodiak

Pada usia 20 tahun, Muhammad Abduh menikah dan menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memintanya untuk kembali ke Thanta namun dalam perjalanan beliau tidak ke Thanta melainkan ke Desa Kani Sahurin, yaitu tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di Mesir. Syekh Darwish mendorong Muhammad Abduh untuk selalu membaca dan membaca buku–buku lagi.

Berkat dorongan dari Syekh Darwis, Muhammad Abduh belajar di Thanta kemudian melanjutkan belajar di Al-Azhar dan bertemu dengan Jamaludin al-Afghani pada tahun 1869.

Muhammad Abduh bersama gurunya al-Afghani aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik yang kemudian menyebabkan ia bertempat tinggal di Paris dan menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakat serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa. Muhammad Abduh bersama Jalaludin al-Afghani membentuk organisasi al-Urwatul al-Wutsqo di Paris dan menerbitkan majalah dengan nama yang sama sebagai media perjuangan.

Satu tahun kemudian Muhammad Abduh kembali ke Mesir, kemudian diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya ia diangkat menjadi Mufti Negara hingga wafat pada tahun 1905. Muhammad Abduh termasuk salah seorang pembaru dan ali pikir Muslim yang hidup pada pertengahan abad ke-19 di Mesir (Saepudin et al., 2021).

Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh di Bidang Pendidikan

Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern. Pada masa itu ia sukses membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Walaupun secara bersamaan ia menerima serangan dari orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim (Husayn & Amin, 2003). Muhammad ia yakin bahwa apabila al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum Muslimin akan membaik.

Menurutnya, apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulum diperluas, mencakup sebagian ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhar bisa berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa, dan menjadi pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern. Menurut Muhammad Abduh ada empat segi-segi yang pokok terkait dengan pemikiran pembaharuannya, yaitu di bidang politik dan ketanah-airan, kemasyarakatan, aqidah, dan pendidikan serta bimbingan umum (Pohan, 2019).

Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh dilatarbelakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbedah dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya.

Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khufarat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir. Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa hal tersebut berpangkal dari ketidaktahuan umat Islam pada ajaran sebenarnya karena mereka mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat.

Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada saat itu. Seperti diketahui pada abad ke-19 Muhammad Abduh memulai pembaharuan pendidikan di Mesir pembaharuannya yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek, mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke-20. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi.

Baca Juga :  Memaknai Ukhuwah dan Khitthah Dalam Bermasyarakat

Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir, mupun yang didirikan oleh bangsa asing. Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan.

 Ilmu-ilmu Barat tidak diberikan di sekolah-sekolah agama, dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan perkembangan dengan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak pemikiran guru dan murid saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.

Sekolah-sekolah pemerintah di pihak lain tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulumnya. Dengan demikian, terjadi dualisme pendidikan yang melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke-19.

 Ide-ide yang datang dari Barat diterima dari ilmu-ilmu Barat yang diajarkan kepada mereka. Langkah yang ditempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum.

Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulum sekolah agama dan memasukkan pendidikan agama dalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan hingga perindustrian. Atas usaha Muhammad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “Majelis Pendidikan Tinggi” yang tujuannya untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan.

Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu: 1) rekonstruksi tujuan pendidikan Islam; 2) menggagas kurikulum pendidikan Islam yang tertinggal; 3) metode pendidikan Islam; 4) metode latihan; 5) metode teladan. Adapun rancangan kurikulum yang diperbaharui Muhammad Abduh adalah meliputi:

1) Kurikulum tingkat Sekolah Dasar

Muhammad Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai sejak masih usia dini, yaitu masa kanak-kanak. Oleh karena itu pelajaran agama hendaknya dijadikan inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa pribadi muslim maka rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup yang lebih baik, dan sekaligus dapat meraih kemajuan (Sani dalam Komaruzaman, 1998)

2) Kurikulum Tingkat Menengah Atas

Pengembangan kurikulum sekolah menengah dan sekolah kejuruan dilakukan dengan memasukkan mata pelajaran manthik dan falsafah yang sebelumnya tidak diajarkan. Selain itu, dimasukkan juga pelajaran tentang sejarah peradaban Islam dengan tujuan agar umat Islam mengetahui berbagai kemajuan dan keunggulan yang pernah dicapai (Nata dalam Komaruzaman, 2012).

3) Kurikulum Universitas Al Azhar

Kurikulum perguruan tinggi al Azhar di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Muhammad Abduh memasukkan ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al Azhar, upaya ini agar alumni-alumni al Azhar dapat menjadi ulama modern (Nizar dalam Komaruzaman, 2007). Kebutuhan masyarakat saat itu adalah sarjana yang berfikir kritis, komprehensif, progresif, dan seimbang tentang ajaran Islam, yaitu ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Baca Juga :  Panglima TNI Resmikan Replika Benteng Cikahuripan

Pengaruh Pembaharuan Pendidikan Islam Muhammad Abduh di Indonesia     

Salah satu pengaruh pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh di Indonesia adalah pada organisasi Muhamadiyah. Munculnya gagasan K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhamadiyah didorong oleh dua sebab. Pertama, karena situasi politik Belanda. Kedua, karena keadaan umat Islam di sekitar kampungnya ketika itu sangat rusak dan dalam menjalankan praktik keagamaan sudah sangat jauh menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya.

Di samping kondisi tersebut, dorongan lainnya adalah pada saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1890, di Mekah, K.H. Ahmad Dahlan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib. Melalui gurunya ia mulai mengenal tulisan Muhamad Abduh yaitu berupa tafsir al Manar, bahkan diantara ilmu-ilmu tersebut yang digemari dan menarik perhatian K.H. Ahmad Dahlan adalah tafisr al Manar (Azhari & Maemunah, 1996).

 Muhammad Abduh yang memberikan kesadaran bahwa metode pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu dilengkapi dengan metode rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, saat para siswa-siswi menghafal suatu bahan pelajaran, juga dapat memahaminya dengan kritis objektif dan komprehensif. Muhammad Abduh mengusulkan menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi) dan kebiasaan ilmiah dan menjadikan bahasa arab sebagai bahasa ilmiah (Nata dalam Komaruzaman, 2012). Hal-hal ini yang juga memberikan penerangan bagi perjuangan K.H. Ahmad Dahlan.

Majalah al Manar cukup berperan bagi perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, karena melalui majalah-majalah tersbut pikiran-pikiran Muhammad Abduh memberikan pengaruh membentuk semangat perjuangnnya sekalipun majalah itu tidak banyak beredar di Indonesia. Lebih jelas lagi dikatakan oleh H. Jarnawi Hadikusumo bawa dengan peranan K.H. Bakir, seorang famili K.H Ahmad Dahlan, ia dapat bertemu dan berkenalan dengan Rasyid Ridha tokoh pembaharu Mesir yang juga murid Muhammad Abduh yang kebetulan berada di Tanah Suci. Keduanya sempat bertukar pikiran hingga cita-cita pembaru meresap dalam sanubarinya (Azhari & Maemunah, 1996).

Kesimpulan

Kenyataan mundurnya peradaban Islam di awal abad ke-18 mendorong para tokoh pembaharuan untuk melakukan reformasi dan berjuang untuk mendapatkan kembali kejayaan umat Islam. Salah satunya adalah Muhammad Abduh yang berpengaruh pada dunia Timur dan Barat. Pemikirannya tentang pendidikan dinilai sebagai awal kebangkitan umat Islam di awal abad ke-20 yang disebarluaskan melalui tulisan-tulisannya di majalah al Manar dan al-Urwatul al-Wutsqo hingga kemudian menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, sehingga di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah atau madrasah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad Abduh. Ide-idenya yang sangat cemerlang digunakan untuk pembaharuan Islam dari berbagai aspek dan mampu membangkitkan kembali semangat juang umat Islam untuk terus maju dalam bidang ilmu pengetahuan setelah mengalami fase kejumudan.

Ide pembaruan Abduh merupakan hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan pada saat itu dan masih terasing hingga kini. Ia menggagas kurikulum pendidikan yang berbasis ilmu pengetahan dan filsafat yang menggunakan akal dengan tidak meninggalkan pelajaran

agama. Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh juga berpengaruh sampai ke Indonesia yaitu salah satunya adalah K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhamadiyah yang menyebarkan gagasan-gagasan Muhammad Abduh dalam perjuangannya di Indonesia.

(Klikinfo.id/Arie Prabowo)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *