JAKARTA – Indonesia menghadapi ancaman krisis kesehatan dan lingkungan yang serius dari musuh tak kasat mata: mikroplastik.
Dua laporan mengkhawatirkan muncul hampir bersamaan: pertama, sebuah studi internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi mikroplastik per kapita tertinggi di dunia.
Kedua, penelitian lokal mengonfirmasi temuan partikel plastik berbahaya ini di dalam air hujan yang turun di kota-kota besar.
Kombinasi dari kedua temuan ini menunjukkan bahwa paparan mikroplastik di Indonesia tidak hanya berasal dari apa yang kita makan dan minum, tetapi juga dari udara yang kita hirup.
Peringkat Konsumsi Tertinggi
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Environmental Science & Technology oleh para peneliti dari Cornell University memetakan paparan mikroplastik di 109 negara. Hasilnya menempatkan Indonesia di peringkat teratas.
Penelitian tersebut memperkirakan bahwa rata-rata individu di Indonesia dapat mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan.
Sumber paparan terbesar diidentifikasi berasal dari sumber akuatik, yaitu ikan, kerang, dan makanan laut lainnya.
Hal ini diperparah dengan temuan bahwa konsentrasi mikroplastik pada garam meja produksi lokal bisa 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Ancaman dari Atmosfer
Tidak hanya di dalam rantai makanan, ancaman mikroplastik kini terkonfirmasi datang dari udara.
Beberapa penelitian di Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh para peneliti lokal, telah mendeteksi keberadaan partikel mikroplastik dalam sampel air hujan.
Partikel ini diduga kuat berasal dari abrasi ban kendaraan di jalan raya serta serat dari tekstil sintetis (pakaian) yang menguap ke atmosfer.
Temuan ini membuktikan bahwa mikroplastik telah mencemari siklus hidrologi, yang berarti setiap orang berisiko terpapar melalui inhalasi (pernapasan) dan kontak kulit, tidak hanya melalui ingesti (makanan).
Memahami Musuh Tak Kasat Mata
Mikroplastik adalah fragmen plastik apa pun yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Partikel ini terbagi menjadi dua jenis utama:
- Mikroplastik Primer: Partikel yang sengaja diproduksi berukuran kecil, seperti microbeads yang digunakan dalam produk kosmetik, sabun scrub, dan pasta gigi.
- Mikroplastik Sekunder: Jenis paling umum yang berasal dari proses terurainya sampah plastik berukuran besar (seperti botol, kantong kresek, dan jaring ikan) akibat paparan sinar matahari dan ombak.
Sumber pencemaran lainnya yang sering tidak disadari termasuk gesekan ban di aspal, serat yang terlepas saat mencuci pakaian berbahan poliester atau nilon, dan bahkan goresan pada talenan plastik saat memasak.
Dampak Serius bagi Kesehatan
Bahaya mikroplastik tidak hanya terletak pada partikelnya, tetapi juga kemampuannya bertindak sebagai “spons” yang menyerap polutan berbahaya seperti pestisida dan logam berat.
Di lingkungan, ini menyebabkan bioakumulasi, di mana racun menumpuk di rantai makanan dan berakhir di manusia.
Bagi kesehatan manusia, studi laboratorium menunjukkan bahwa partikel berukuran nano bahkan dapat menembus aliran darah, dan telah terdeteksi di organ vital seperti paru-paru, hati, hingga otak dan plasenta. Paparan zat kimia aditif pada plastik, seperti BPA dan Phthalates, diketahui dapat bertindak sebagai pengganggu sistem hormon (endokrin) dan berpotensi memicu peradangan kronis.
Langkah Mendesak
Menghadapi krisis ini, para ahli menyerukan langkah mitigasi ganda. Dari sisi regulasi, diperlukan pengelolaan sampah nasional yang lebih baik, pembatasan ketat terhadap plastik sekali pakai, dan standar industri yang lebih aman.
Dari sisi individu, masyarakat diimbau untuk lebih sadar akan konsumsi mereka. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai secara drastis (botol minum, sedotan, alat makan).
- Memilih pakaian berbahan serat alami (katun, linen) ketimbang sintetis (poliester).
- Menghindari memanaskan makanan dalam wadah plastik di microwave.
- Menggunakan filter air minum yang berkualitas untuk menyaring partikel.
Krisis mikroplastik adalah ancaman nyata yang membutuhkan kesadaran kolektif dan tindakan segera untuk melindungi kesehatan publik dan kelestarian lingkungan di Indonesia.




