Ditulis oleh: Komunitas Indonesian Archaeology
KLIKINFO.ID, Ketika VOC masih berkuasa, transportasi air menjadi transportasi utama penduduk kota untuk bepergian maupun mengalirkan barang dari tempat satu ke tempat yang lain, terutama dari wilayah pedalaman ke pesisir. Ada dua macam trnasportasi air yang digunakan pada saat itu sebagai alat angkut yaitu eretan[1] dan orembaai[2].
Mobilisasi ini dilakukan lewat laut maupun sungai-sungai yang telah diluruskan dan dibentuk kanal-kanal. Salah satunya adalah kanal Molenvliet dengan meluruskan sungai Ciliwung. Selain transportasi air, transportasi darat juga semakin tumbuh terutama saat Daendels membangun jalur darat Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan dan melewati Batavia. Sejak saat itu, kereta kuda menjadi alternatif lain warga kota ketika hendak bepergian mamanfaatkan jalan darat yang telah dibuat.
Transportasi kereta kuda terus tumbuh pada pertengahan abad ke-19. Saking banyaknya kuda, ungkapan “zaman kuda gigit besi[3]” sangat melekat di Batavia pada periode tersebut. Untuk memberi makan kuda tersebut, ada daerah di Batavia yang bernama Pasar Rumput yang menjual pakanan kuda.
Awalnya pedagang pakanan kuda menjual rumput di sekitar Menteng, namun karena daerah tersebut merupakan kawasan elite, maka harus dipindahkan ke daerah Pasar Rumput (Adi, 2010: 159). Kereta kuda terus tumbuh dan berkembang dengan berbagai variasi seperti jumlah kuda, formasi tempat duduk, variasi kereta pengangkut, dan pakaian yang dikenakan kusir. Beberapa kereta kuda yang ada di Batavia antara lain:
- Sado
Istilah ini diambil dari bahasa Perancis “dos-a-dos” yang artinya membelakangi. Kereta ini hanya bisa mengangkut empat orang. Dua orang di depan dan dua orang di belakang membelakangi kusir (Blackburn, 2011: 69)
- Delman
Istilah kereta kuda ini berasal dari kata delen yang artinya membagi dan man yang artinya orang. Kereta ini mempunyai tempat duduk yang terbagi dua yang saling berhadapan yang berada di sisi samping kiri dan kanan (Indrajaya, 2021: 29-30).
- Kahar per
Kereta kuda ini memiliki bentuk yang sama dengan delman, tetapi tampilan fisiknya lebih tinggi karena ditopang oleh per pada bagian bawah badan keretanya serta tidak memiliki pintu belakang (Indrajaya, 2021: 30).
- Landaulet
Kereta ini ditarik oleh dua kuda. Atapnya dari kanvas dan bis dilipat ke belakang. Kereta semacam ini banyak dipakai oleh pembesar pemerintah Belanda. Orang-orang berada sering menyewanya untuk jalan-jalan atau menghadiri suatu perayaan (dinaskebudayan.jakarta.go.id)
- Pelangki
Nama pelangki berasal dari kata palankijn (tandu tertutup). Kereta ini juga ditarik oleh dua kuda. Kereta ini memiliki bentuk karoseri persegi panjang pintunya dari bawah atap langsung ke lantai dan memakai daun pintu dengan tinggi sekitar 60-70 cm. Terdapat empat jendela yang memiliki kisi-kisi kayu. Kereta ini mengangkut enam orang, tiga di bangku depan menghadap ke belakang dan tiga di bangku belakang menghadap ke depan (dinaskebudayaan.jakarta.go.id)
- EBRO
EBRO adalah singkatan dari (Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming), sebuah perusahaan kereta kuda di Batavia[4]. Kereta berpenarik dengan dua kuda ini memiliki banyak peminat terutama golongan menengah atas. Para kusir landaulet, pelangki dan EBRO mengenakan pakaian resmi karena sering membawa penumpang dengan kedudukan status sosial yang lebih tingga (Indrajaya, 2021: 31).
Meskipun kereta kuda cukup populer di Batavia pada periode pertengahan abad ke-19, namun transportasi ini belum bisa dikatakan transportasi umum massal. Keterbatasan yang ada pada moda transportasi kereta kuda membuat kereta kuda ini tidak bisa ditumpangi banyak orang. Selain itu, kereta kuda dapat dikatakan transportasi eksklusif para pembesar atau tuan tanah kecuali jenis sado delman dan kahar per yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah atau pribumi.
Melihat luasnya kota Batavia dan semakin bertambahnya penduduk memaksa pemerintah Hindia Belanda perlu membuat inovasi baru dengan menciptakan transportasi yang mampu menjangkau daerah yang luas dan mampu mengangkut banyak orang maupun barang. Apalagi setelah pemerintah Hindia-Belanda mulai mengalihkan perhatian pada hasil pertanian dan perkebunan seperti kopi, tembakau, dan tebu.
Transportasi yang ada tidak mampu mempercepat proses pengangkutan hasil-hasil perkebunan ke pelabuhan, sehingga para tuan tanah mulai memikirkan pengadaan sarana transportasi baru yang bisa memenuhi kebutuhan mereka (Istianto, 2019). Pembangunan jalan raya dan politik tanam paksa saat itu memaksa pemerintah Hindia-Belanda mengembangkan sistem transportasi lain yang lebih efisien, dari segi jumlah barang yang diangkut dan waktu pengiriman. Pengangkutan hasil perkebunan dan pertanian, hewan ternak, dan barang dagangan untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya di Batavia juga menjadi persoalan tersendiri.